Tuntutan Pengembalian Uang Panaik
Tuntutan Pengembalian Uang Panaik
Oleh: Ang Rijal Amin, Baiq Inti Dhena Sinayang, Mustaufikin, Muhammad Hutomo, Miranda Tivana Devi, Nur Rizka Fani, Valentia Rizky Prabawa, Yaomil Khaeriyah Annisa
Uang Panai’ 2 = Maha(l)r. Demikianlah judul sebuah film yang akan tayang di bioskop pada 8 Agustus 2024 nanti. Film tersebut merupakan kelanjutan dari Uang Panai’ = Maha(l)r yang sebelumnya tayang pada 2016 silam. Terdapat dua (2) hal yang menjadikannya layak disebut di sini. Pertama, film tersebut menunjukkan uang panaik sebagai satu persoalan paling pelik dalam perkawinan suku Bugis-Makassar. Kedua, terjadi tumpang tindih makna dan ketidakjelasan kategoris antara mahar dan uang panaik—hal yang menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini.
Pernyataan yang terakhir disebut bukan saja bersumber dari pemaknaan terhadap judul film, melainkan dapat dilacak pada berbagai putusan pengadilan yang berisi sengketa uang panaik, dalam bentuk gugatan pengembalian mahar.[1] Dari pelacakan yang dilakukan penulis, terdapat tiga (3) macam putusan terhadap “sengketa uang panaik”, yakni putusan yang mengabulkan, menolak, dan menyatakan NO (Niet Onvanklijk Verklaard).
Artinya, masyarakat bukanlah satu-satunya pihak yang memaknai uang panaik sebagai mahar, tetapi juga pengadilan. Putusan yang mengabulkan tuntutan pengembalian uang panaik menandai pemaknaan yang sama perihal uang panaik dan mahar.[2] Dalam putusan tersebut majelis hakim memperlakukan sama antara mahar dan uang panaik, di mana uang panaik dikembalikan sebagian sebagaimana pengembalian mahar. Bahkan Putusan PA Takalar Nomor 199/Pdt.G/2018/PA.Tkl tampak memberi penjelasan mahar dan uang panaik sebagai satu paket yang tidak terpisahkan:
“Oleh karena itu dengan sikap dan tindakan tergugat tersebut, dapat dinyatakan bahwa tergugat telah melakukan wanprestasi. Maka dari itu, jika mahar yang merupakan pemberian suami kepada istri atas dasar kerelaan dapat dan merupakan hak suami untuk meminta kembali seperduanya, apalagi uang panaik yang merupakan pembebanan yang diminta dan ditentukan oleh pihak wanita akibat adanya kesepakatan akad nikah antara pihak wanita dan pihak laki-laki.”
Dan tidak jelas apa dasar hukum pengembalian mahar selain diterangkan:
“Sedangkan uang panaik adalah sejumlah uang yang besarannya ditentukan oleh pihak wanita atau keluarga wanita yang dibebankan kepada pihak laki-laki yang ingin menikahi seorang wanita, dan dengan tujuan bahwa pihak laki-laki dapat menikahi wanita tersebut, mendapatkan dari wanita tersebut semua yang dihalalkan oleh allah termasuk hubungan badan, dan dengan hal tersebut, wanita pun rela di nikahi oleh laki-laki yang melamarnya dan menyerahkan dirinya dan segala hal yang dihalalkan oleh allah untuk dinikmati oleh laki-laki yang menikahinya.”
Meskipun tidak ada penjelasan yang terang dan tegas kenapa uang panaik dianggap sepaket dengan mahar, tetapi umumnya penyerahan uang panaik dianggap sebagai simbol keseriusan calon suami terhadap calon istri[3], hal demikian yang menjadikan uang panaik dianggap sama dengan mahar.
Putusan yang menolak tuntutan pengembalian uang panaik didasarkan pada dalil yang tidak terbukti, tidak jelas apakah uang panaik diposisikan sama atau berbeda dengan mahar. tetapi yang menarik ialah majelis hakim memeriksa dan menuntut pembuktian terhadap dalil-dalil yang tampaknya kurang relevan dengan kewenangan peradilan agama:
“Tergugat tidak dapat membuktikan bahwa uang belanja tersebut tidak habis di pakai pada pesta pernikahan Penggugat demikian pula bahwa Penggugat bertujuan untuk memperkaya diri dengan uang belanja tersebut, maka gugatan Penggugat dinyatakan tidak terbukti”[4]
Sementara Putusan yang menyatakan tidak dapat diterima atau NO terhadap tuntutan pengembalian uang panaik didasarkan pada pertimbangan bahwa uang panaik berbeda dari mahar. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa uang panaik merupakan hibah tanpa ikatan apapun. Sehingga, hibah yang telah diberikan tidak dapat ditarik kembali.[5]
Ketidakmenentuan di atas merupakan ketidakpastian hukum; di mana pertanyaan hukum yang sama mendapati jawaban berbeda. Tampak dalam perkara semacam ini, telah terjadi disparitas putusan yang semestinya diatasi.
Perihal Uang Panaik
Uang panaik atau dui’ menre’ adalah sejumlah uang yang wajib diberikan oleh calon suami kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan yang digunakan sebagai biaya resepsi perkawinan.[6] Di dalamnya bersemayam prestise keluarga calon istri.[7] Demikian mengapa status keluarga dan calon mempelai perempuan menjadi faktor yang menentukan besaran uang panaik yang harus disediakan oleh calon mempelai laki-laki, selain dari pertimbangan kemampuan laki-laki.
Sebagai penegasan, juga diceritakan film di atas, persoalan uang panaik terletak pada tingginya permintaan keluarga calon mempelai perempuan yang kerapkali menyulitkan pihak laki-laki. Gambaran demikian menerangkan bahwa besaran uang panaik berasal dari tawar menawar yang menghasilkan kesepakatan pihak laki-laki dan keluarga calon istri.[8]
Uang panaik, nantinya akan digunakan sebagai biaya resepsi, maka tidak heran jumlahnya lebih tinggi ketimbang mahar. Akan tetapi, sekalipun digunakan untuk resepsi, apabila terdapat kelebihan dari uang panaik yang diberikan, maka kelebihan tersebut tidak dikembalikan kepada pihak laki-laki, melainkan dimiliki oleh pihak keluarga perempuan.[9] Sebab, uang panaik pada dasarnya dianggap sebagai uang yang habis dimakan api.[10]
Lebih lanjut, pertanyaannya ialah apakah uang panaik merupakan bagian dari mahar?
Pasal 1 huruf d Kompilasi Hukum Islam (KHI) menerangkan bahwa mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dari penjelasan demikian, mahar dan uang panaik seolah dapat dipersamakan. Akan tetapi, sesungguhnya berbeda. Sebab jika memperhatikan karakteristiknya akan tampak mahar berbeda dengan uang panaik.
Pertama, Pasal 33 ayat (2) KHI menentukan bahwa mahar dapat ditangguhkan. Sementara uang panaik tidak mungkin ditangguhkan karena menjadi prasyarat untuk dapat diadakan resepsi. Kedua, mahar diucapkan ketika akad, sementara uang panaik tidak diucapkan ketika akad nikah. Ketiga, mahar merupakan pemberian untuk calon mempelai perempuan, sementara uang panaik ditujukan untuk resepsi perkawinan.
Labih lanjut, dari keterangan di atas, uang panaik akan didudukkan ke dalam kategori perikatan dengan melakukan klasifikasi sumber akadnya. Dalam hukum Islam perikatan amat bergantung pada jenis akad. Sehingga, perbedaan akad berimplikasi terhadap akibat hukum dari perikatan yang ditimbulkannya.
Sebagaimana dijelaskan di awal, uang panaik merupakan hasil kesepakatan antara keluarga calon laki-laki dan perempuan, bukan kehendak sepihak. Hibah merupakan tindakan cuma-cuma di mana prestasi hanya berasal dari salah satu pihak.[11] Sehingga tidak menuntut pihak yang diberi hibah untuk melakukan perbuatan tertentu. Selain itu hibah tidak boleh melebihi 1/3 dari harta.[12]
Sementara pemberian uang panaik menuntut dilakukan suatu perbuatan tertentu yakni mengadakan resepsi perkawinan. Dengan begitu, akad penyerahan uang panaik sesungguhnya merupakan akibat hukum tambahan dari akibat hukum pokok berupa terselenggaranya resepsi.[13] Selain itu, akad uang panaik merupakan hasil persetujuan bersama kedua belah pihak atau merepresentasikan kehendak kedua belah pihak.
Maka tidak tepat jika dikatakan bahwa uang panaik merupakan hibah tanpa ikatan apapun.[14] Sebab, dengan pemberian uang panaik justru melahirkan perikatan antara keluarga pihak calon istri dengan pihak calon suami
Lagipula, apabila persoalan uang panaik dikategorikan sebagai sengketa hibah, Apakah bisa mengajukan pembatalan hibah dengan alasan hibah yang diberikan melebihi 1/3 harta? Padahal nyatanya, uang panaik dengan jumlah sekian sejak awal merupakan kesepakatan kedua belah pihak—dan pada umumnya jauh melampaui 1/3 atau bahkan bekali-kali lipat dari harta yang dimiliki. Justru hal demikian menjadi semakin aneh. Ditambah penggunaan uang panaik juga untuk menyukseskan terselenggaranya kepentingan si pemberi.
Hemat penulis, penyerahan uang panaik masuk kategori akad tak bernama, yakni akad yang tidak diatur secara khusus dalam kitab-kitab fikih di bawah satu nama tertentu, dan akibat hukumnya ditentukan sendiri oleh kedua belah pihak sesuai dengan maksud akad.[15]
Bentuk kewajiban memenuhi prestasi sebagai akibat hukum yang timbul dari akad berbeda-beda sesuai dengan tujuan akad. Dari segi tujuannya akad dapat dibedakan menjadi lima (5), yaitu:[16]
- Akad pemindahan milik
- Akad melakukan pekerjaan
- Akad persekutuan
- Akan penjaminan
- Akad pendelegasian
Maka dari akibat hukum yang ditimbulkan dari uang panaik, termasuk kategori akad melakukan pekerjaan atau perbuatan tertentu, yakni menyelenggarakan resepsi pernikahan. Sehingga uang panaik yang diberikan bukanlah hibah, melainkan suatu perjanjian antara pihak calon mempelai laki-laki dengan keluarga pihak calon mempelai perempuan.
Dari penjelasan demikian dapat dikatakan bahwa apabila terjadi perceraian qabla dukhul, maka hal tersebut tidak ada hubungannya dengan penyerahan uang panaik yang telah dilakukan. Sebab perikatan telah berakhir dengan terlaksananya resepsi perkawinan.
[1] Sengketa uang panaik biasanya kumulasi dari perkara perceraian atau berupa gugatan rekonvensi yang dibuat satu kesatuan dengan pengembalian mahar. Maksudnya, para pihak mendudukkan uang panaik sebagai bagian dari mahar perkawinan. Dalam perceraian qabla dukhul, istri hanya berhak atas setengah bagian dari keseluruhan mahar.
[2] Lihat Putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar Nomor 82/Pdt.G/2013/PTA.Mks, Putusan PA Kendari Nomor 193/Pdt.G/2017/PA.Kdi, Putusan PA Takalar Nomor 199/Pdt.G/2018/PA.Tkl
[3] Lihat Putusan PA Watampone Nomor 680/Pdt.G/2021/PA.Wtp.
[4] Putusan Pengadilan Agama Unaaha Nomor 293/Pdt.G/2018/PA.Una
[5] Putusan PTA Kendari Nomor 43/Pdt.G/2017/PTA.Kdi. Lihat juga Putusan PTA Makassar Nomor 23/Pdt.G/2019/PTA.Mks.
[6] Moh. Ikbal, Uang Panaik dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar, Al Hukama: The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 6:1, (Juni, 2016), hlm. 213.
[7] Syarifuddin dan Ratna Ayu Damayanti, Story of Bride Price: Sebuah Kritik Atas Fenomena Uang Panaik Suku Makassar, Jurnal Akuntansi dan Multiparadigma, Vol. 6:1, (April, 2015), hlm. 83.
[8] Lihat Moh. Ikbal, Uang Panaik dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar, Al Hukama: The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 6:1, (Juni, 2016), hlm. 208.
[9] Ibid. hlm. 201.
[10] Putusan Pengadilan Agama Unaaha Nomor 293/Pdt.G/2018/PA.Una.
[11] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 61.
[12] pasal 210 ayat (1) KHI jo. pasal 726 KHES
[13] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 71.
[14] Putusan PTA Kendari Nomor 43/Pdt.G/2017/PTA.Kdi. Lihat juga Putusan PTA Makassar Nomor 23/Pdt.G/2019/PTA.Mks.
[15] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 70.
[16] Ibid. hlm. 314.
Berita Terkait: